Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Tangerang

Selasa, 10 Januari 2017

SEKILAS TENTANG MUHAMMADIYAH DAN AMAL USAHA DI BIDANG PENDIDIKAN


Oleh: Milana Abdillah Subarkah, MA

A. Dimensi Historis dan Ideologis Muhammadiyah

Di tengah-tengah kondisi yang tidak menentu, dimana keadaan umat Islam Indonesia mengalami keprihatinan yang mendalam, karena kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, dan sudah menjadi sesuatu yang biasa dialami umat Islam khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dalam kondisi seperti inilah yang mengerakkan KH.Ahmad Dahlan dan muncul sebagai salah seorang yang peduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi. Kepedulian KH. Ahmad Dahlan ditunjukkan dengan mendirikan perkumpulan atau persyarikatan yang diberi nama Muhammadiyah. Adapun sebab-sebab didirikannya persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut: 1. Faktor Subjektif Yang dimaksud dengan faktor subjektif adalah yang muncul dalam diri KH. Ahmad Dahlan secara langsung untuk menggerakkan dan merintis berdirinya persyarikatan Muhammadiyah. Hal tersebut karena didasari adanya paham dan penghayatan agama KH. Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi keyakinan dan cita-cita hidupnya. Sebagai ulama yang memiliki perhatian penuh terhadap kehidupan umat Islam di sekitarnya, Dahlan merasa sangat prihatin pada kondisi nyata umat Islam yang mengalami berbagai krisis, sehingga tidak menampakkan agama Islam sebagai agama Rahmatan lil’amin. Berdasarkan pengamatannya, akhirnya Dahlan mengetahui, bahwa kondisi umat Islam semakin terbelakang disebabkan karena kekeliruan umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Umat dan masyarakat Islam pada waktu itu kebanyakan mereka mengamalkan ajaran agama Islam tidak berdasarkan sumbernya (Al-Qur’an dan As-Sunnah), tetapi berdasarkan taqlid, yaitu mengikuti saja apa yang diajarkan Kiayinya, tanpa mengetahui apakah ajaran Kiayi itu benar atau salah. Pendek kata apa yang dikatakan oleh Kiayi itulah ajaran agama yang harus diamalkan. Sebagai ulama yang berpikiran maju, KH. Ahmad Dahlan berpendirian, bahwa agama Islam itu hanyalah apa yang telah diwahyukan oleh Allah swt kepada para Nabi dan Rasul-Nya (Muhammad SAW) dan untuk memahami ajaran Islam sehingga untuk memperoleh kebenarannya haruslah bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan menggunakan akal pikiran yang cerdas, kreatif, dan dinamis yang disertai dengan akal budi yang bersih dan murni. Memahami ajaran agama Islam dengan menggunakan paham seperti di atas itulah yang menumbuhkembangkan keyakinan dan cita-cita hidup KH. Ahmad Dahlan, bahwa: a. Agama Islam adalah Risalah Allah swt yang menjadi pedoman hidup bagi manusia, yang kebenarannya mutlak, lengkap dan sempurna menjadi rahmatan lil’alamin. b. Ajaran agama Islam itu harus diamalkan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. c. Untuk dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam arti dan proporsi yang sebenarnya umat Islam itu harus digerakkan. Berdasarkan paham, keyakinan, dan cita-cita KH. Ahmad Dahlan dan juga berdasarkan pemahaman beliau dari Al-Qur’an terutama surat Ali Imran ayat 104 sebagaimana Allah swt: “Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”. Oleh karena itulah KH. Ahamad Dahlan menyegerakan untuk membentuk sebuah gerakan yang dalam pengamalannya berdasarkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya, yang kemudian gerakan itu dinamakan Muhammadiyah. 2. Faktor Objektif Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan sebagian dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia, diantaranya sebagai berikut: a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Indonesia memeluk agama Hindu dan Budha dengan segala amalan dan tradisi yang ada di dalamnya. Sementara itu agama Islam masuk ke Nusantara setelah melewati perjalanan yang sangat panjang, oleh karena itu tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan berbagai pengaruh kepercayaan lain yang melekat secara tidak sengaja ke dalam tubuh ajaran Islam. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi bahwa dalam kenyataan dan prakteknya umat Islam di Indonesia pada saat itu memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam kehidupan beraqidah Islam mengajarkan pada umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik maupun khurafat, dan bid’ah. Namun dalam prakteknya banyak orang Islam yang masih percaya terhadap benda-benda keramat, semacam keris, tombak, batu aji, masih percaya terhadap hari baik dan hari naas/buruk, bulan baik dan bulan buruk dan sebagainya. Mereka sering pergi ke kuburan yang dianggap keramat, seperti mendatangi kuburan para wali, ulama-ulama besar, dan sebagainya dengan tujuan meminta berkah. Mereka juga percaya kepada ramalan gaib, ramalan bintang, ramalan burung, ramalan nasib, dan ramalan dukun. Perbuatan semacam ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam, hal yang demikian ini termasuk dalam kategori syirik (mempersekutukan Allah swt). Mempersekutukan Allah merupakan perbuatan yang sangat diharamkan, karena perbuatan ini termasuk dosa yang paling besar dan tidak terampunkan oleh Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisa: 48). Selanjutnya, dalam kehidupan beribadah khususnya ibadah Mahdhah, agama Islam memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan apabila dalam pengamalan ibadah yang wajib tanpa didasari keterangan yang jelas dari suber ajaran Islam, serta contoh dari Rasulullah saw, maka hal semacam itu tergolong bid’ah (mengada-ngada dalam perkara ibadah), dan bid’ah itu termasuk perbuatan sesat, sementara yang menyesatkan tempatnya di neraka. Namun dalam kenyataannya masih banyak orang Islam yang mencampur urusan-urusan agama Islam atau praktek ubudiyah dengan berbagai amalan yang berasal dari kepercayaan lain. Perbuatan seperti ini sangat jelas jauh dari apa yang dikehendaki oleh Allah swt dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tentu saja telah terjadi penyimpangan aqidah. Sebagai contoh dapat dilihat masih mentradisinya sesaji yang ditujukan kepada arwah , kepada roh-roh halus, selamatan orang kematian semacam tujuh harian, empat puluh harian, seratus hari, seribu hari, dengan dibacakan bacaan tertentu seperti bacaan tahlil, ayat kursi, surat Yasin, dan sebagainya yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang diselamatinya. Amalan ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fatihah: 5, Al-Baqarah: 286, Al-An’am 164, dan An-Najm: 39. b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “khalifah Allah di atas bumi”. Pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan khas milik umat Islam di Indonesia. Dilihat sari sejarahnya sistem pesantren ini sebenarnya sudah berkembang sejak zaman Hindu-Budha, kemudian sistem ini dikenal dengan nama ‘Ashram’ yang di dalamnya para cantrik (berubah menjadi santri) tinggal bersama-sama dengan guru. Sistem ini berlanjut ketika Indonesia memasuki zaman Islam. Sistem pondok pesantren yang dikembangkan umat Islam Indonesia telah banyak memberikan sumbangannya bagi nusa dan bangsa dari sejak sebelum masa penjajahan Belanda hingga masa penjajahan Belanda. Lewat lembaga ini telah dilahirkan kader-kader umat dan bangsa, dimana pondok pesantren ini yang mempelopori menanamkan semangat nasionalisme dan patriot bangsa kepada para santri. Namun dalam menghadapi tantangan kemajuan zaman yang tidak pernah mengenal berhenti, terasa bahwa muatan isi yang ada di dalam sistem pondok pesantren saat ini terasa kurang memadai dalam rangka mengantisipasi perkembangan zaman. Dalam sistem pondok pesantren saat itu hanya mengajarkan mata pelajaran agama dalam arti sempit, yaitu terbatas pada bidang Fiqh, sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Ayat tersebut menekankan kepada kaum Muslimin untuk menuntut Ilmu dalam keadaan normal maupun tidak normal, serta berkewajiban menuntut Ilmu itu tidak hanya Ilmu Umum saja melainkan juga Ilmu Agama, yang meliputi mata pelajaran bahasa Arab, Terjemah dan Tafsir, Hadis, Tasawuf/Akhlak, Aqaid, Ilmu Mantiq (logika) dan Ilmu Falaq. Sedangkan mata pelajaran yang menyangkut dengan urusan keduniaan (muamalah duniawiyah), yang sering disebut dengan ilmu pengetahuan umum semacam Sejarah, Ilmu Bumi, Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan sebagainya sama sekali belum diperkenalkan di lembaga pendidikan pondok pesantren. Padahal dengan adanya ilmu pengetahun inilah seseorang akan mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu dari dua tugas yang diemban oleh Khalifah Allah. Selanjutnya, sudah seharusnya lembaga pendidikan Islam menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Khalifah Allah di muka bumi, yang tugas utamanya adalah mengupayakan terciptanya perdamaian hidup sesama umat manusia. Mengingat fungsi pendidikan pondok pesantren pada saat itu menurut KH. Ahmad Dahlan masih ada suatu kekurangan mendasar yang harus segera disempurnakan . karena sistem pondok pesantren hanya membekali kepada para santri ilmu-ilmu pengetahuan agama semata, maka untuk penyempurnaannya mereka harus diberikan juga pengetahuan umum, sehingga dengan demikian akan lahirlah dari lembaga pendidikan ini manusia yang bertaqwa kepada Allah, cerdas lagi terampil, yang dalam terminologi Al-Qur’an disebut sebagai Ulul Albab. Dari penjelasan di atas berkaitan dengan faktor objektif yang merupakan asal muasal berdirinya persyarikatan Muhammadiyah, selain itu tedapat pula hal-hal yang melatarbelakangi persyarikatan Muhammadiyah didirikan yakni faktor objektif yang bersifat eksternal, diantaranya adalah: 1) Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Sebagaimana halnya bangsa-bangsa penjajah Eropa lainnya, bangsa Belandapun ketika masuk ke negeri Indonesia, juga mengibarkan panji-panji “tiga G”, yaitu Gold, Glory, dan Gospel. Ketiga G ini sebenarnya menggambarkan motif kedatangan kaum penjajah ke negeri-negeri jajahannya. Yang pertama Gold (emas, kekayaan), suatu motif untuk mengeksploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan. Kedua, Glory (motif kekuasaan/politik) suatu motif untuk menjajah dan menguasai negeri jajahannya sebagai daerah kekuasaannya. Ketiga, adalah Gospel yakni, menyebarluaskan ajaran Kristiani kepada anak negeri jajahan, atau motif untuk mengubah agama penduduk, yang Islam atau bukan menjadi Kristen. Orang-orang Spanyol dan Portugis memang sengaja datang ke pelosok dunia ini antara lain memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Khusus dalam menggambarkan kedatangan bangsa Belanda ke negeri Indonesia yang tak lepas dari tiga motif di atas, khususnya motif mengkristenkan penduduk negeri Indonesia yang notabene penduduknya beragama Islam. 2) Penetrasi Bangsa-Bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia Kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban, dan keagamaan telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Lewat pendidikan model Barat yang mereka kembangkan, dengan cirri-cirinya yang sangat menonjolkan sifat intelektualistik, individualistik, elitis, diskriminatik, serta sama sekali tidak memperhatikan dasar-dasar atau asas-asas moral keagamaan (sekuler), maka lahirlah suatu generasi baru bangsa Indonesia yang terkena pengaruh paham rasionalisme dan individualisme dalam pola berfikir mereka. Selain itu, pendidikan Barat juga merupakan alat yang paling pasti untuk mengurangi dan pada akhirnya mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia. Dampak yang terlihat ketika paham Barat telah merasuk ke pola berfikir masyarakat Indonesia, antara lain munculnya sikap acuh tak acuh dan melecehkan ajaran Islam. Mereka menganggap selama mereka menampakan keislamannya, mereka merasa belum dapat disebut sebagai orang modern, orang yang berkemajuan dan sebagainya. Dalam menyikapi kehidupan umat Islam Indonesia, Belanda benar-benar mengikuti petunjuk dari Snouck Horgonje. Ia merekomendasi kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa sebenarnya Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu Islam religius dan Islam politik. Terhadap Islam relugius dia menyarankan agar pemerintah bersikap toleran. Bahkan sikap seperti ini dinyatakan sebagai syarat yang tidak boleh tidak harus diwujudkan demi menjaga ketenagaan dan stabilitas, seperti memberi toleransi kepada umat Islam untuk melaksanakan aktivitas ibadahnya. Semetara Islam politik, Pemerintah dianjurkan tidak memberikan toleransi sama sekali, bahkan sebaliknya harus ditekan semaksimal mungkin. Tegasnya bagi Pemerintah Hindia Belanda dalam menyikapi umat Islam di Indonesia harus membedakan Islam ke dalam dua kategori, musuh Belanda bukan Islam sebagai agama, akan tetapi yang manjadi musuh Belanda adalah Islam sebagai doktrin politik. 3) Pengaruh dari gerakan pembaharuan dalam dunia Islam Gerakan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sessungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan dalam Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim Al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayid Jamaluddin, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan sebagainya. Pengaruh tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh lewat kitab tafsirnya yang terkenal, yaitu al-Manar, suntingan dari Rasyid Ridha serta majalah al-Urwatul Wustqa. Dalam hal KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya terkena pengaruh dari ide-ide Muhammad Abduh, Azyumardi Azra menulis bahwa sesungguhnya pengaruh tersebut bukanlah dari keseluruhan ide-idenya, sebab dalam masalah teologi (aqidah) Muhammadiyah justru lebih dekat kepada sistem teologi Asy’ariyah dari pada teologinya Abduh yang lebih dekat pada sistem teologi Mu’tazilah. Arbiyah Lubis dalam Disertasinya membuktikan bahwa sepanjang persoalan teologi, Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh sama sekali. Lebih jauh, setelah membandingkan Kalam Abduh dan Muhammadiyah, Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di antara keduanya. Jika teologi Abduh bersifat rasional dan karena itu lebih dekat kepada sistem teologi Mu’tazilah, sebaliknya teologi Muhammadiyah adalah teologi tradisional dan oleh sebab itu ia lebih dekat kepada sistem teologi Asy’ariyah. Melalui telaah terhadap berbagai karya para tokoh pembaharu di atas serta kitab-kitab lain, yang seluruhnya menghembuskan angin segar untuk memurnikan ajaran Islam dari berbagai ajaran sesat, yakni dengan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul beliau mendapatkan inspirasi yang kuat untuk mendirikan sebuah gerakan Islam yang berwibawa, teratur, tertib, dan penuh disiplin guna dijadikan wahana untuk melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dari sekian faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, Mukti Ali dalam bukunya “Interpretasi amalan Muhammadiyah” menyimpulkan adanya empat faktor yang cukup menonjol, yaitu: a) Ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan agama Islam di Indonesia. b) Ketidakefisiennya lembaga-lembaga Pendidikan Agama Islam. c) Aktifitas misi-misi Katholik dan Protestan; dan d) Sikap acuh tak acuh, bahwa kadang-kadang sikap merendahkan dari golongan intelegensia terhadap Islam. Sementara itu, tentang latar belakang berdirinya Muhammadiyah dijelaskan oleh Ahmad Syafii Maarif sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayatullah dalam buku “Muhammadiyah dan Pluralitas Agama di Indonesia”, mengatakan: “bahwa terdapat tiga faktor yang mendorong lahirnya gerakan Muhammadiyah, yakni (1) keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua aspek kehidupan, (2) kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonseia, dan (3) keadaan pendidikan Islam sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren. Sementara teori lain dengan mengacu kepada berbagai pandangan yang ada, Weinata Sairin dalam penelitiannya menyimpulkan ada tiga faktor utama yang menyebabkan lahirnya gerakan pembaruan Muhammadiyah, yaitu (1) kondisi Islam di Jawa, (2) Pangaruh Modernis Islam di Timur Tengah, dan (3) Politik Islam pemerintah Belanda. Dengan demikian secara historis Persyarikatan Muhammadiyah sebagaimana disebutkan di atas, didirikan berdasarkan beberapa faktor mendasar. Namun perlu diingat bawah berdirinya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan sosok pendirinya yakni KH. Ahmad Dahlan. Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo dalam mendirikan lembaga pendidikan yang pertama kali didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, dan diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911, yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan terdapat 62 siswa yang belajar di sekolah tersebut. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan memerlukan pelatihan lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pangalaman KH. Ahmad Dahlan berorganisasi melalui gerakan Budi Utomo dan Jamiat al-Khair, menjadi satu hal yang sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah. Ide pembentukan sekolah tersebut, kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweek School Jetis. Dalam satu kesempatan untuk memperoleh dukungan, dalam rangka merealisasikan ide pembentukan sebuah organisasi, KH. Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweek School Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi Utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan terebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912, persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara eksplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama, dan tujuan perkumpulan. Pembicaraan yang dilakukan selanjutnya, tentang tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran Dasar organisasi ini, dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Organisasi yang dibentuk diberi nama “Muhammadiyah”, nama yang berhubungan dengan Nabi terakhir Muhammad saw. Berdasarkan nama itu diharapkan setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad saw dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Selanjutnya, KH. Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan enam orang dari kampong Kauman, yaitu Syarkawi, Abdul Gani, , Syuja, M. Hisyam, M. Fakhrudin, dan M. Tamim yang menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka memperoleh dukungan formal dari Budi Utomo, untuk mendukung proses permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap Pembentukan Muhammadiyah. Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melaksanakan shalat Istikharah, akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah Persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan membantu pengajuan permohonan kepada Pemerintahan Belanda agar pembentukan diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Sementara itu, Syamsul Arifin berpendapat bahwa Muhammadiyah senantiasa dihadapkan dengan realitas sosial keagamaan yang kompleks. Setidaknya ada dua persoalan sosial keagamaan yang signifikan mempengaruhi Muhammadiyah dalam merumuskan visi dan dinamikanya pada masa-masa berikutnya. Pertama, persoalan otentisitas dalam paham dan praktik keagamaan masyarakat Islam yang telah mencampur baurkan dengan tradisi yang berkembang dalam agama sebelum kedatangan Islam di Indonesia. Kedua, penetrasi kalangan misionaris Kristen yang memperoleh sokongan dan dukungan politik dari penguasa kolonial Belanda. Terlepas dari pendapat di atas dalam menghadapi tantangan yang muncul sebagai dampak perkembangan dan perubahan ruang dan waktu ini, Muhammadiyah, sebagaimana yang diyakini oleh para pengurus PP Muhammadiyah antara lain, Haedar Nasir, beliau mengatakan bahwa “Muhammadiyah akan mampu mengatasi tantangan-tantangan, karena Muhammadiyah memiliki sejumlah prinsip-prinsip fundamental yang bersifat ideologis.” Pemikiran ideologis ini dapat diyakini sebagai salah satu alternatif utama ketika harus berhadapan dengan sistem ideologi lain yang bersebrangan dengan misi dan kepentingan Islam maupun Muhammadiyah. Selanjutnya, sejumlah prinsip fundamental ideologis tersebut, menurut Haedar Nasir adalah: Pertama, Muhammadiyah merupakan gerakan Islam sebagai satu-satunya agama Allah yang benar yang berdasarkan keyakinan pada Tauhid yang murni dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan mengemban misi risalah Islam itu untuk menegakkan dan membangun kehidupan yang membawa pada keselamatan serta bahagia hidup untuk manusia dunia dan akhirat. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui sistem dakwah dan organisasi untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yakni masyarakat utama yang diridhai oleh Allah swt. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam mencapai maksud, tujuan dan cita-citanya, diwujudkan dan diaktualisasikan dengan jalan melaksanakan dakwah Islam yang membawa seruan untuk beriman, amar ma’ruf dan nahi munkar yang berwatak tajdid baik yang bersifat pemurnian maupun pembaruan. Keempat, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam membangun kehidupan yang dicita-citakan, yakni membentuk masyarakat Islam yang utama, senantiasa mendasarkan diri pada pandangan dunia yang memiliki orientasi habluminallah dan habluminannaas secara integratif baik dalam lingkup kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat melalui usaha-usaha dakwah yang menyeluruh di berbagai bidang kehidupan. Kelima, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam di Indonesia senantiasa menyadari dan mengindahkan keberadaan hidup masyarakat dan bangsa serta negara Indonesia dengan tekad mengemban misi dakwah untuk kemajuan dan keselamatan hidup umat dan masyarakat di dunia dan akhirat. Keenam, pencapaian tujuan Muhammadiyah dilakukan secara terus-menerus dan ditempuh melalui sistem organisasi yang merupakan satu teori dan strategi gerakan yang utuh dan solid yang didukung oleh sarana dan prasarana sebagai alat dakwah yang harus diselenggarakan dengan seksama dan niscaya. Ketujuh, pencapaian tujuan dengan sistem organisasi bagi Muhammadiyah hanya akan berhasil jika mampu melakukan pembinaan anggota sebagai subjek dakwah secara terorganisir yang membentuk satu-kesatuan (ikatan). Dan Kedelapan, dengan sitem gerakan yang terorganisir secara permanen dan memiliki nilai-nilai fundamental ini, Muhammadiyah senantiasa menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah dan Ishlah dengan tetap istiqamah dalam menunaikan dakwah untuk terciptanya rahmatan lil’alamin dalam kehidupan umat, masyrakat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Adapun yang termasuk ideologi Muhammadiyah sebagaimana sudah ditetapkan menjadi sebuah landasan pergerakan Muhammadiyah diantaranya adalah: 1) Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah 2) Kepribadian Muhammadiyah 3) Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah 4) Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah B. Dimensi Organisatoris Ahmad Dahlan sebagai perintis berdirinya Muhammadiyah tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana cita-cita Ahmad Dahlan Muhammadiyah haruslah selalu tumbuh dan berkembang sehingga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya sepanjang masa kepada umat Islam khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, sehingga perlu kiranya Muhammadiyah terus meningkatkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dari semangat dan kerja keras para pimpinan Muhammadiyah dalam memajukan sebuah Bangsa, sudah tidak terhitung berapa jumlah tokoh, Ulama atau cendikiawan disemua kelas dan disiplin ilmu, yang telah memuji habis Muhammadiyah. Contoh populer, yaitu sosiolog Jepang, Mitsuo Nakamura pernah menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi hebat, belum ada tandingannya didunia. Pernyataan ini kemudian diamini oleh banyak cendikiawan kelas “dunia”, misalnya Mister James Peacock dan almarhum Nurkholis Majid, ketiganya, walaupun bukan aktivis Muhammadiyah tetapi dalam bahasa dan redaksi berbeda mengatakan “bahwa Muhammadiyah jika dilihat dari segi kualitas untuk ukuran Indonesia pasti terbesar, tetapi dari segi kuantitas masih ada yang lebih besar untuk ukuran dunia Islam, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar karena ketertinggalan dari segi kuantitas oleh ormas lain tertutupi oleh kualitas yang dimiliki Muhammadiyah.” Banyak hal yang memposisikan Muhammadiyah demikian. Para pengamat regional dan internasional, sebagaimana telah disebutkan oleh tokoh diatas kemajuan yang diraih Muhammadiyah, yakni dalam bidang amal usaha (Kemasyarakatan dan Pendidikan). Hal tersebutlah yang menjadikan Muhammadiyah besar dan tersebar cabang-cabang Muhammadiyah ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Dengan iman dan amal shalih Muhammadiyah bertekad untuk selalu maju dan berkembang di mana-mana. Tak sedikit halangan dan tantangan, semuanya dihadapi dengan sabar dan tawakal, yang akhirnya membuahkan hasil kebesaran dan keluasan gerakan Muhammadiyah. Sejak dari ujung barat sampai tapal batas paling timur, dari wilayah paling utara maupun selatan Indonesia, telah dimasuki Muhammadiyah. Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah memang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, disamping karena keuletan dan ketekunan mubaligh-mubalighnya dalam menyiarkan Islam sesuai dengan paham yang diyakini Muhammadiyah. Secara garis besar perkembangan Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi dua: 1. Perkembangan secara Vertikal; yaitu perkembangan dan perluasan gerakan Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air, berupa berdirinya wilayah-wilayah di tiap-tiap propinsi, daerah-daerah di tiap-tiap Kabupaten/Kota, cabang-cabang dan ranting-ranting serta jumlah anggota yang bertebaran di mana-mana. 2. Perkembangan secara Horizontal; yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha Muhammadiyah, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal ini dengan pertimbangan karena bertambah luas serta banyaknya hal-hal yang harus diusahakan oleh Muhammadiyah, sesuai dengan maksud dan tujuannya. Maka dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa tingkatan jenjang struktur Muhammadiyah (Pimpinan Pusat, Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting), majelis-majelis, dan lembanga-lembaga. Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah tersebar ke seluruh Indonesia, memiliki tingkatan kepemimpinan, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat ranting. Sebagaimana penjelasan berikut: a. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah jenjang struktur Muhammadiyah tertinggi. Dalam level yang paling tinggi dari seluruh level Pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif dari seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di Indonesia, sekaligus juga mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah Indonesia melalui berbagai bentuk aktivitas dakwah, seperti aktivitas keagamaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan sebagainya. Dalam melaksanakan gerak dakwah Islamiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mempunyai seperangkat pengurus dan majelis-majelis atau lembaga-lembaga yang berfungsi secara praktis untuk melaksanakan program-program Muhammadiyah di tingkat pusat dan juga mengkoordinasikan seluruh aktivitas dakwah Islamiyah secara spesifik di Indonesia. Proses kaderisasi dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga dilakukan secara intensif melalui organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah di level pusat yang mempunyai segmentasi tersendiri. Pengambilan keputusan di Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga dilaksanakan secara demokratis dalam bentuk permusyawaratan. Permusyawaratan tertinggi ialah Muktamar Muhammadiyah yang berfungsi untuk memilih pengurus dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, strategi dan program dakwah Muhammadiyah, mengevaluasi gerakan dakwah pada periode kepengurusan sebelumnya, dan lain-lain yang penting untuk diputuskan dalam permusyawaratan tersebut. Muktamar Muhammadiyah melibatkan seluruh Pimpinan Daerah dan Wilayah Muhammadiyah di wilayah kabupaten tersebut. b. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah adalah jenjang struktural Muhammadiyah setingkat propinsi. Dalam level yang lebih tinggi dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah propinsi tersebut, sekaligus juga mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah propinsi tersebut melalui berbagai bentuk, seperti aktivitas keagamaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan sebagainya. Dalam melaksanakan gerak dakwah Islamiyah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah mempunyai seperangkat pengurus dan majelis-majelis atau lembaga-lembaga yang berfungsi secara praktis untuk melaksanakan program-program Muhammadiyah di tingkat propinsi. Proses kaderisasi dalam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah juga dilakukan secara intensif melalui organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah di level wilayah atau propinsi yang mempunyai segmentasi tersendiri. Pengambilan keputusan di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah juga dilaksanakan secara demokratis dalam bentuk permusyawaratan. Permusyawaratan tertinggi ialah Musyawarah Wilayah Muhammadiyah yang berfungsi untuk memilih pengurus dalam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, strategi dan program dakwah Muhammadiyah di wilayah kabupaten tersebut, mengevaluasi gerakan dakwah pada periode kepengurusan sebelumnya, dan lain-lain yang penting untuk diputuskan dalam permusyawaratan tersebut. Musyawarah Wilayah Muhammadiyah melibatkan seluruh Pimpinan Daerah di wilayah propinsi tersebut. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dalam melakukan gerakan dakwah juga bekerjasama dengan elemen-elemen lain dalam masyarakat, baik pemerintah daerah setingkat I, organisasi masyarakat lain, LSM, dan sebagainya. c. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah adalah jenjang struktural Muhammadiyah setingkat kabupaten (district). Dalam level yang lebih tinggi dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah kabupaten tersebut, sekaligus juga mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah Kabupaten tersebut melalui berbagai bentuk, seperti aktivitas keagamaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan sebagainya. Dalam melaksanakan gerak dakwah Islamiyah, Pimpinan Daerah Muhammadiyah mempunyai seperangkat pengurus dan majelis-majelis atau lembaga-lembaga yang berfungsi secara praktis untuk melaksanakan program-program Muhammadiyah di tingkat daerah atau kabupaten. Sebagaimana di ranting dan cabang, proses kaderisasi dalam Pimpinan Daerah Muhammadiyah juga dilakukan secara intensif melalui organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah di level daerah yang mempunyai segmentasi tersendiri. Pengambilan keputusan di Pimpinan Daerah Muhammadiyah juga dilaksanakan secara demokratis dalam bentuk permusyawaratan. Permusyawaratan tertinggi ialah Musyawarah Daerah Muhammadiyah yang berfungsi untuk memilih pengurus dalam Pimpinan Daerah Muhammadiyah, strategi dan program dakwah Muhammadiyah di wilayah kabupaten tersebut, mengevaluasi gerakan dakwah pada periode kepengurusan sebelumnya, dan lain-lain yang penting untuk diputuskan dalam permusyawaratan tersebut. Musyawarah Wilayah Muhammadiyah melibatkan seluruh Pimpinan Cabang dan Ranting Muhammadiyah di wilayah kabupaten tersebut. Pimpinan Daerah Muhammadiyah dalam melakukan gerakan dakwah juga bekerjasama dengan elemen-elemen lain dalam masyarakat, baik pemerintah daerah setingkat II, organisasi masyarakat lain, LSM, dan sebagainya. d. Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pimpinan Cabang Muhammadiyah adalah jenjang struktural Muhammadiyah setingkat kecamatan (sub-district). Dalam level yang lebih tinggi dari Pimpinan Ranting Muhammadiyah, Pimpinan Cabang Muhammadiyah mempunyai fungsi koordinatif bagi seluruh Pimpinan Muhammadiyah yang ada di wilayah kecamatan tersebut, sekaligus juga mengkoordinasikan gerakan dakwah Islamiyah di seluruh wilayah kecamatan tersebut melalui berbagai bentuk, seperti aktivitas keagamaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, dan sebagainya. Dalam melaksanakan gerak dakwah Islamiyah, Pimpinan Cabang Muhammadiyah mempunyai seperangkat pengurus dan majelis-majelis atau lembaga-lembaga yang berfungsi secara praktis untuk melaksanakan program-program Muhammadiyah di tingkat cabang atau kecamatan. Sebagaimana di level ranting, proses kaderisasi dalam Pimpinan Cabang Muhammadiyah juga dilakukan secara intensif melalui organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah di level cabang yang mempunyai segmentasi tersendiri. Sebagaimana dalam level ranting, pengambilan keputusan di Pimpinan Cabang Muhammadiyah juga dilaksanakan secara demokratis dalam bentuk permusyawaratan. Permusyawaratan tertinggi ialah Musyawarah Cabang Muhammadiyah yang berfungsi untuk memilih pengurus dalam Pimpinan Cabang Muhammadiyah, strategi dan program dakwah Muhammadiyah di wilayah kecamatan tersebut, mengevaluasi gerakan dakwah pada periode kepengurusan sebelumnya, dan lain-lain yang penting untuk diputuskan dalam permusyawaratan tersebut. Musyawarah Cabang Muhammadiyah melibatkan seluruh Pimpinan Ranting Muhammadiyah di wilayah cabang atau kecamatan tersebut. Pimpinan Cabang Muhammadiyah dalam melakukan gerakan dakwah juga bekerjasama dengan elemen-elemen lain dalam masyarakat, baik pemerintahan daerah di tingkat kecamatan (MUSPIKA), organisasi masyarakat lain, LSM, dan sebagainya. e. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pimpinan Ranting Muhammadiyah adalah jenjang struktural Muhammadiyah setingkat desa, dan merupakan ujung tombak bagi gerakan dakwah Islamiyah yang dilaksanakan Muhammadiyah, karena Pimpinan Ranting Muhammadiyah menjangkau dan berinteraksi secara langsung dengan warga Muhammadiyah. Sebagai ujung tombak dari gerakan dakwah Islamiyah yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, Pimpinan Ranting Muhammadiyah adalah kekuatan paling nyata yang dimiliki Muhammadiyah, karena di level inilah sebenarnya basis-basis gerakan Muhammadiyah bisa dilaksanakan secara nyata. Dalam melaksanakan gerak dakwah Islamiyah, Pimpinan Ranting Muhammadiyah mempunyai seperangkat pengurus yang berfungsi untuk melaksanakan program-program Muhammadiyah di tingkat ranting atau desa. Di samping itu, untuk proses kaderisasi, Pimpinan Ranting Muhammadiyah juga melakukan pembinaan dan kaderisasi melaui organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah di level ranting yang mempunyai segmentasi tersendiri, seperti Aisyiyah (yang bergerak dalam dakwah Islamiyah di kalangan wanita atau ibu-ibu), Pemuda Muhammadiyah (yang bergerak dalam dakwah Islamiyah di kalangan pemuda), Nasyi’atul Aisyiyah (yang bergerak dalam dakwah Islamiyah di kalangan wanita-wanita muda), Ikatan Remaja Muhammadiyah (yang bergerak dalam dakwah Islamiyah di kalangan remaja dan pelajar). Pengambilan keputusan di Pimpinan Ranting Muhammadiyah dilaksanakan secara demokratis dalam bentuk permusyawaratan. Permusyawaratan tertinggi ialah Musyawarah Ranting Muhammadiyah yang berfungsi untuk memilih pengurus dalam Pimpinan Ranting Muhammadiyah, program dakwah Muhammadiyah, mengevaluasi gerakan dakwah pada periode kepengurusan sebelumnya, dan lain-lain yang penting untuk diputuskan dalam permusyawaratan tersebut. Musyawarah Ranting Muhammadiyah melibatkan seluruh warga Muhammadiyah di ranting atau desa tersebut. Pimpinan Ranting Muhammadiyah dalam melakukan gerakan dakwah juga bekerjasama dengan elemen-elemen lain dalam masyarakat, baik pemerintahan desa, organisasi masyarakat lain, LSM, dan sebagainya. Disamping majelis dan lembaga yang berada di beberapa tingkatan jenjang struktur Muhammadiyah, terdapat juga organisasi otonom, yakni organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan masih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam persyarikatan Muhammadiyah organisasi otonom (ORTOM) terdapat beberapa buah, yaitu: 1) ‘Aisyiyah 2) Pemuda Muhammadiyah 3) Nasyiatul ‘Aisyiyah 4) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 5) Ikatan Pelajar Muhammadiyah 6) Tapak Suci Putera Muhammadiyah 7) Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Organisasi otonom yang terdiri dari Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putera Muhammadiyah, dan Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan ini termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dimana keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi sebagai, pelopor, pelangsung, dan penyempurna Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). C. Dimensi Praksis Persyarikatan Muhammadiyah Sudah menjadi cirri khas dalam Muhammadiyah adanya semboyan “sedikit bicara banyak bekerja”, tidak ada semboyan di bibir, tetapi sungguh-sungguh dibuktikan dengan amaliyah. Oleh karena itu tidak mengherankan, bila Muhammadiyah memiliki cukup banyak dan luas amal usaha serta hasil-hasilnya. Hal ini dibuktikan, sebagai berikut: 1. Bidang keagamaan Pada bidang inilah pusat seluruh kegiatan Muhammadiyah, dasar dan jiwa setiap amal usaha Muhammadiyah. Dan apa yang dilaksanakan pada bidang-bidang lainnya tak lain dari dorongan keagamaan. Karena baik kegiatan bersifat kemasyarakatan, perekonomian, pendidikan, dan politik semua tak dapat dipisahkan dari jiwa, dasar, dan semangat keagamaan. Terbentuknya Majelis Tarjih (1927), suatu majelis yang mengimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan serta memberi tuntunan mengenai hukum yang sangat bermanfaat, seperti: a. Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. b. Memberi tuntunan dalam penentuan ibadah puasa dan Hari Raya dengan jalan perhitungan “Hisab atau Astronomi” sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern. c. Mendirikan tempat-tempat ibadah mushalah atau masjid, serta memberikan pencerahan dalam meluruskan arah kiblat yang benar sesuai dengan perhitungan garis lintang. d. Melaksanakan dan mensponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan hasil perkebunan. Serta mengatur pengumpulan pembagian zakat fitrah sehingga benar-benar sampai ke tangan yang berhak. e. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana. Dapat dikatakan, bahwa Majelis Tarjih merupakan lembaga yang didalamnya berkumpul banyak ulama dalam berbagai bidang keahlian, selain itu juga sebuah lembaga yang cukup berpengaruh dan berwibawa baik ke dalam Muhammadiyah sendiri maupun umat Islam di luar Muhammadiyah. Karena setiap kali Muktamar Tarjih mengundang para ulama-ulama dan cendikiawan dari luar Muhammadiyah untuk ikut serta membahas berbagai persoalan agama yang telah diagendakan. f. Terbentuknya Kementerian Agama Republik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah. Oleh karena itu, jabatan Menteri Agama yang pertama dipercayakan di pindak tokoh Muhammadiyah, yaitu H. Moch. Rosyidi, B.A yang pada pelajaran akademiknya telah berhasil meraihgelar Doktor dari Universitas Sorbone Prancis dan menjadi Guru Besar (Profesor) di Universitas Indonesia. Begitu nama H. Syudjak sebagai tokoh PKU Muhammadiyah, tak dapat dilupakan atas jasa-jasanya, karena hingga sekarang ini umat Islam Indonesia dapat menikmati perintisnya. g. Tersusunnya rumusan tentang Matan dan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah” adalah suatu hasil yang sangat besar, penting dan belum ada duanya di Indonesia hingga dewasa ini. Dimana sebuah organisasi Islam secara bulat mampu menyusun mengenai pokok-pokok agama Islam secra sederhana, mencakup dan tuntas. h. Penanaman kesadaran dan kenikmatan beragama, beramal, dan berorganisasi. Dengan kesadaran itu maka tumbuh dan berkembang hasil-hasil nyata di berbagai wilayah berupa tanah wakaf, infaq, bangunan-bangunan, kesediaan mengorbankan harta benda untuk kepentingan agama dan sebagainya. 2. Bidang Pendidikan Salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak saja isi dan metode pengajar yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannya harus diadakan perombakan yang mendasar. Maka dengan didirikannya sekolah yang tidak lagi memisah-misahkan antara pelajaran yang dianggap agama dan pendidikan yang digolongkan ilmu umum, pada hakekatnya merupakan usaha yang sangat penting dan besar. Karena dengan sistem tersebut bangsa Indonesia dididik menjadi bangsa yang utuh kepribadiannya, tidak terbelah menjadi pribadi yang berilmu umum atau berilmu agama saja. Menjadi kenyataan yang sampai sekarang masih dirasakan akibatnya, adalah Sekolah-Sekolah yang bersifat netral terhadap agama, dimana akhirnya tidak sedikit para siswanya hanya memiliki keahlian dalam bidang umum dan tidak mempunyai keahlian dalam bidang agama. Dengan kenyataan ini banyak orang yang mudah goyah dan goncang hidupnya dalam menghadapi bermacam-macam cobaan. Karena tidak mungkin menghapus sama sekali sistem sekolah umum dan sistem pesantren, maka ditempuh usaha perpaduan antara keduanya, yaitu dengan: a. Mendirikan Sekolah-Sekolah Umum dengan memasukkan kedalamnya ilmu-ilmu keagamaan. b. Mendirikan Madrasah-Madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum. c. Mendirikan Perguruan Tinggi/Universitas dengan memasukkan pula didalamnya Ruh pergerakan Al-Islam dan Muhammadiyah pada jurusan non agama. Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi apalagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama. 3. Bidang Kemasyarakatan Muhammadiyah adalah suatu gerakan Islam yang mempunyai tugas Dakwah Islam dan Amar Makruf Nahi Munkar dalam bidang kemasyarakatan. Sudah dengan sendirinya banyak usaha-usaha ditempatkan dalam bidang kemasyarakatan seperti: a. Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-balai pengibatan, rumah bersalin, apotik dan sebagainya. b. Mendirikan panti-panti asuhan baik putra maupun putri, untuk menyantuni mereka. c. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan dan took buku, yang banyak mempublikasikan majalah-majalah, brosur, dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan Islam. d. Mendirikan bank perkreditan rakyat, Baitut Mal wa Tamwil (BMT) koperasi warga Muhammadiyah, BUMM berupa PT berjumlah 1579 buah. e. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang tuntunan Illahi. Seperti diketahui, keluatga adalah masyarakat dalam bentuk yang terkecil. Dari keluarga akhirnya terbentuk suatu kehidupan bersama dan terjadi saling hubungan antara suami, istri, anak-anak serta anggota keluarga lain. Bila hubungan anggota keluarga baik, maka bisa dipastikan kehidupan masyarakatpun baik pula, sebaliknya bila keluarga-keluarga sama berantakan dalam kehidupan masyarakat mereka maka tak ayal lagi, kehidupan masyarakat juga ikut hancur. Oleh karena itu, Muhammadiyah berusaha mewujudkan usaha keluarga yang sejahtera lahir dan batin, dengan membentuk unit-unit perencanaan keluarga sejahtera di tiap-tiap wilayah dan daerah di seluruh Indonesia. 4. Bidang Politik Kenegaraan Muhammadiyah bukan suatu partai politik dan tidak akan menjadi partai politik. Meskipun demikian, dengan keyakinannya bahwa agama Islam adalah agam yang mengatur segenap kehidupan manusia di dunia ini maka dengan sendirinya segala hal yang berhubungan dengan dunia juga menjadi bidang garapannya, tak terkecuali soal-soal politik kenegaraan. Akan tetapi, Muhammadiyah ikut gerak dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, tetap dalam batas-batasnya sebagai Gerakan Dakwah Islam Amar Makruf Nahi Munkar, dan sama sekali tidak bermaksud menjadi sebuah partai politik. Atas dasar pendirian itulah, KH. Ahmad Dahlan ikut duduk menjadi pengurus Budi Utomo dan juga menjadi penasehat pimpinan Serikat Islam. begitu juga pemimpin-pemimpin Muhammadiyah yang lainnya KH. Fakhruddin, KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, dan Prof Hamka pada dasarnya mempunyai pendirian yang sama. Tak dapat disebutkan satu per satu seluruh perjuangan Muhammadiyah yang dapat digolongkan ke dalam bidang politik kenegaraan, hanya beberapa diantaranya: a. Pemerintah kolonial Belanda selalu berusaha agar perkembangan agama Islam dapat dikendalikan dengan bermacam-macam cara, di antaranya menetapkan agar semua binatang yang dijadikan “qurban” harus dibayar pajak. Hal ini ditentang oleh Muhammadiyah, dan akhirnya berhasil dibebaskan. b. Pengadilan agama di zaman kolonial Belanda berada dalam kekuasaan penjajah yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan Agama Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu. c. Ikut mempelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Begitu juga pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya. Dan setelah beberapa tahun lamanya akibat kekosongan partai politik yang sejiwa dengan kehendak Muhammadiyah, akhirnya tahun 1967 Muhammadiyah tampil lagi sebagai tulang punggung utama berdirinya Partai Muslimin Indonesia. d. Ikut menanamkan rasa Nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan umat Islam Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khutbah ataupun tulisan-tulisannya. e. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia pernah seluruh bangsa Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, Tuhan bangsa Jepang. Tak terkecuali Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-Kerei, membungkuk tanda hormat kepada Tenno Heika, setiap pagi sesaat matahari sedang terbit. Tentu saja perintah Dai Nippon tersebut ditolak oleh Muhammadiyah, karena sei-kerei tak lain dari perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Allah. Apa yang telah dikemukakan di atas adalah gambaran ringkas dari seluruh kegiatan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) selama ini. Kini serta hari esok akan terus beramal tak ada henti-hentinya. D. Dimensi Praksis di Bidang Pendidikan Di tengah pergumulan sistem pendidikan nasional menciptakan jarak antara sistem madrasah dan pesantren di satu sisi dan sekolah umum negeri di sisi lain, sekolah Muhammadiyah menawarkan sebuah pilihan menarik kepada Muslim Indonesia. Madrasah dan pesantren sebagaimana tercermin dalam perkembangan awal di Indonesia menawarkan pendidikan dengan penguasaan ilmu keislaman sebagai kajian pokok. Kementerian Agama telah membuat program mainstreaming pengetahuan umum di madrasah, tetapi karena kualitas Madrasah dipandang tidak standar, dan statusnya berada di bawah Kementerian Agama bukan Kementerian Pendidikan menjadikan, Madrasah tetap dipandang sebagai lembaga pendidikan khusus. Alumninya sering diasumsikan tidak dapat melanjutkan pendidikan lanjutan Universitas. Sementara Sekolah Umum dipandang sekuler dan mata pelajaran Ke-Islaman masih menjadi perdebatan berkelanjutan. Di tengah-tengah sekolah Muhammadiyah dan sekolah Islam yang mengambil inspirasi dari model sekolah Muhammadiyah mengambil tempat sebagai pemecah jalan kepada kebuntuan pilihan dan pada tingkat tertentu dualisme pendidikan Indonesia. Pendidikan bagi Muhammadiyah sudah menjadi bagian integral, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Muhammadiyah. Sejak berdirinya, Muhammadiyah sudah concern dalam bidang pendidikan, pencerdasan dan pencerahan umat Islam, agar tidak mudah dipecundangi, tidak kalah dalam persaingan, dan terdorong untuk senantiasa merebut kembali masa depan. Jadi kalau belakangan ini, dalam Muhammadiyah, begitu santer terdengar wacana gerakan ilmu, tentu itu tidak terlalu mengagetkan. Memang sejak dulu Muhammadiyah ingin menjadikan umat Islam cerdas. Secara historis, Muhammadiyah berkontribusi besar dalam pembaharuan pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, pembaharuan kelembagaan. Melalui Madrasah Qismul ‘Arqa, Muhammadiyah merintis sebuah lembaga pendidikan yang merupakan perpaduan antara sistem pendidikan sekolah model Belanda dengan sistem pendidikan pesantren. Kedua, pembaharuan kurikulum. Di Madrasah dan Pesantren Muhammadiyah diberikan mata pelajaran umum (sains), dan di sekolah-sekolah Muhammadiyah diajarkan mata pelajaran agama Islam. Tidak hanya itu, KH. Ahmad Dahlan juga merintis sekolah-sekolah gubernemen (pemerintah). Ketiga, pembaharuan metodologi dan metode pembelajaran. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mengembangkan dan mengadopsi sistem pembelajaran modern dengan sistem klasikal, dengan menggunakan meja-kursi, papan tulis, dan media pembelajaran lainnya. Muhammadiyah mengembangkan metode pembelajaran dialogis dan pendekatan rasional dalam pembelajaran agama. Berdasarkan penjelasan di atas, KH. Ahmad Dahlan berusaha memadukan dua bentuk dan sistem yang ada dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah. Sehingga pendidikan di Muhammadiyah meliputi pada pendidikan pesantern Muhammadiyah, selain tetap diberikan pengatahuan agama dengan sistem dan metode yang lebih baik dan bermanfaat, juga dimasukkan mata pelajaran umum serta keterampilan. Muhammadiyah menyelenggarakan suatu amalan, hanya punya satu tujuan yang ingin dicapai, yakni menyampaikan ajakan kebaikan atau mengajak orang lain bersama-sama memeluk agama Islam. Dengan demikian, melalui dunia pendidikan Muhammadiyah bermaksud melaksakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Namun, agar arah penyelenggaraan pendidikan di Muhammadiyah jelas dan diketahui semua pihak terkait sehingga memudahkan seluruh pelaku pendidikan melaksanakan tugas pendidikannya, maka Muhammadiyah telah menggariskan tujuan penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah, yaitu “Terwujudnya manusia muslim berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, serta berguna bagi masyarakat dan negara”. Sebagai gambaran dari dimensi praksis di Bidang Pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, gerakan di bidang pendidikan ini sangat jelas hingga kini, Muhammadiyah mengelola pendidikan formal, informal, dan non formal. Di lembaga pendidikan formal, dapat dilihat sejak SD/MI (2.604), SMP/Madrasah Tsanawiyah (1.772), SMA/Madrasah Aliyah (1.143), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (172). Bahkan Pendidikan Anak Usia Dini juga merupakan consent Muhammadiyah, hingga kini tercatat lebih dari 10.000 lembaga Pendidikan Anak Usia Dini yang dikelola oleh Ortom khusus, yakni ‘Aisyiyah.

SEKILAS TENTANG MUHAMMADIYAH DAN AMAL USAHA DI BIDANG PENDIDIKAN Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Milana_Abiqina

0 komentar:

Posting Komentar